Senandung Seniman Ketoprak Gunung Kidul


  By : Claudia Rosari Dewi            
  “Kehidupan  keras dalam bertani  tidak membuatnya putus asa untuk tetap setia menghidupi setiap anggota keluarganya. Kreativitas dan hasrat untuk terjun sebagai seorang seniman justru ia kembangkan ditengah kesibukannya sebagai seorang petani. Sebagai seniman ketoprak, Pak Mariyo tak pernah letih untuk tetap  mengembangkan bakatnya. Meskipun profesi sebagai seorang petani terkadang membuatnya menyerah  mengatasi himpitan ekonomi keluarga yang pas-pasan. Ia tetap senang, bergelut sebagai seniman ketoprak.”
Semangat dan kecintaannya sebagai seorang seniman membuat bapak Mariyo Mardi Utomo tetap setia mengembangkan kesenian daerah nya, Gunung Kidul. Meskipun tantangan dan keadaan zaman semakin maju, ia tidak mau meninggalkan kesenian ketoprak yang sudah mendarah daging dalam jiwanya. Paguyuban Among Budaya dan  Taruna Budaya memberi tempat bagi Mariyo dan warga Pacing II mengekspresikan kesenian ketoprak ini. Mereka mengelola paguyuban dengan penuh pengorbanan dan kerja keras demi eksistensi kesenian ketoprak di daerahnya.
Profesinya sebagai seorang petani dan pekerja serabutan ternyata tidak menyurutkan api semangatnya untuk tetap bertekun dalam dunia seni. Khususnya kesenian ketoprak yang sejak dulu telah diikutinya. Pria yang telah menggeluti kesenian ketoprak ini mengaku bahwa beliau merasakan kesenangan yang mendalam ketika mampu menyalurkan hobinya bermain ketoprak. Bekerja sebagai seorang petani didaerah Gunung Kidul dengan penghasilan yang pas-pasan tidak menutupi keinginan besarnya terjun kedalam dunia seni. Mulanya, ia terjun kedunia kesenian ketoprak bukanlah suatu predikat warisan dari kedua orang tuanya, tetapi karena ia mempunyai ketertarikan dalam dunia kesenian ketoprak itu sendiri. “Awalnya ini semua karena kecintaan terhadap seni ketoprak, apapun yang dihadapi saya tetap senang menjalani kegiatan sebagai seorang seniman ketoprak.” tandasnya dengan mantap.
Pria yang telah dikarunia dua orang anak dan dua orang cucu ini menganggap  bahwa daerah tempat tinggalnya ini sangat menyambut positif tradisi kesenian, salah satunya kesenian ketoprak. Buktinya, setiap tahun di desa Pacing ini rutin diadakan pementasan kegiatan kesenian, dan kesenian ketoprak yang ia geluti ini pun ikut berkontribusi dalam pementasan tersebut. Semangat beliau untuk terus berkembang sebagai seniman ketoprak didukung pula oleh paguyuban kesenian ketoprak didaerahnya. Masyarakat desa Pacing, Gunung Kidul ini sangat positif menyambut setiap kegiatan kesenian yang sejak dahulu telah menjadi tradisi. Itulah yang selama ini membuatnya betah untuk tetap tekun sebagai seorang seniman ketoprak ditengah himpitan ekonomi yang pas-pasan.
Dikaruniai dua anak yang memiliki bakat seni dalam menabuh musik gendang, memberi harapan penuh bagi kelestarian musik Jawa. Mengingat anak muda zaman sekarang yang sudah meninggalkan kesenian tradisional, Mariyo patut berbangga hati karena anak kandungnya dapat mewarisi bakatnya sebagai seorang seniman. Inilah yang menjadi salah satu penghiburan bagi dirinya untuk tetap berjuang menafkai keluarganya meskipun hanya sebagai seorang petani. Suka dan duka tetap mengiringi langkah kehidupan Mariyo, penghasilan dari bertani hanya dapat mencukupi kebutuhan makan anggota keluarganya. Dengan beranjak keluar dari ketidak berdayaan ekonomi yang pas-pasan, Mariyo menggunakan hobi nya bermain ketoprak sebagai salah satu pekerjaan tambahannya. Terkadang ia dan teman satu paguyuban, yang berprofesi sebagai petani dan peternak,   bisa memperoleh penghasilan setiap kali ia bermain lakon dalam kesenian ketoprak, namun jika tidak beruntung ia akan pulang dengan tangan hampa. Realitas hidup mengajarinya untuk tidak menyerah pada harapan hidup kedepan. Suka dan duka ia hadapi dengan ketulusan dan keikhasan. Kenyataan sebagai seorang petani desa Pancing, Gunung Kidul tidak menutupi harapan nya untuk meraih kebahagiaan batin melalui kesenian ketoprak meski hanya berada dalan ranah desa yang kecil.
Duka  seniman ketoprak
Ketekunan Maryo dan teman-teman satu paguyuban membuat mereka tidak menyerah untuk tetap menjaga kelestarian kesenian ketoprak yang memang sudah menjadi sebuah tradisi. Semuanya itu tidaklah mudah dilalui oleh mereka.  Permasalahan  dana saat ini menjadi perhatian khusus bagi Mariyo dan teman-teman satu paguyuban  yang mereka kelola bersama. Hal ini membuat mereka harus memutar otak bagaimana mendapatkan dana tambahan agar kesenian ketoprak ini tetap ada dan terus berkembang. Setiap kali pementasan mereka hanya mengandalkan dana dari iuran antar desa yaitu desa Pacing I dan desa Pacing II. Mariyo merasa pemerintah daerah kurang memperhatikan pendanaan setiap mereka menggelar pementasan. Beliau menyadari jika pemerintah turun tangan pun, kesenjangan sosial antar seniman ketoprak dari paguyuban lain akan terjadi karena akan ada kecemburuan antara desa Pacing dengan desa yang lain yang ada di Gunung Kidul ini. Tidaklah mudah bagi mereka yang ingin tetap melestarikan kesenian ketoprak daerah dengan mengandalkan dana yang terkadang dirasa tidak cukup.
Kesulitan dana acap kali menghampiri mereka, masalah birokrasi yang terkadang berbelit-belit membuat mereka merasa kesulitan untuk tetap mengadakan  pementasan. Setiap kali Mariyo dan teman-teman satu paguyuban mengajukan proposal pengajuan dana kepada pemerintah daerah, pada dasarnya diterima namun kemudian pemerintah tidak memberikan jawaban atas proposal pengajuan dana pementasan kesenian ketoprak tersebut. Pemerintah daerah seakan-akan acuh tak acuh terhadap kesenian daerah yang dimiliki masyarakatnya. Bantuan dana tanpa harus mengajukan proposal baru datang kepada Mariyo dan teman-teman satu paguyuban ketika pemilu didaerah itu diselenggarakan. Kelegaan batin yang mendalam dapat mereka rasakan ketika pemerintah memberikan bantuan dana bagi mereka, meskipun hanya ketika pemilu diselenggarakan. Mereka tetap berpegang teguh mengembangkan kesenian ketoprak didaerah Gunung Kidul, meskipun harus tertatih-tatih berpangku tangan menantikan dana untuk pementasan itu cair dari kantong pemerintah.
Bertahan Pada Satu Harapan
Pahit dan manisnya hidup ini membuat Mariyo tertantang untuk bertahan dan mengingatkannya untuk tetap bersyukur menjalani hidup ini. Hanya ada satu harapan yang ia perjuangan bersama dengan teman-temannya, mereka berharap kesenian ketoprak ini akan tetap eksis di desa mereka. Walaupun banyak persoalan yang harus mereka  hadapi ditengah kemajuan zaman dan modernisasi yang semakin meninggalkan kesenian tradisional. Dengan segenap kekuatan tenaga, biaya, dan doa ia tetap berpegang teguh pada keyakinannya untuk tetap mengembangkan kesenian ketoprak di desa Pacing ini. Latihan dua minggu sekali yang mereka lakukan secara rutin dan setia  senantiasa membuat mereka percaya diri akan niat mereka yang ingin mengembangkan kesenian ketoprak. Sejak tahun 1980-an sampai detik ini paguyuban Among Budaya dan Taruna Budaya akhirnya tetap mampu bertahan dalam kesenian ketoprak. Meskipun tantangannya mereka harus tetap bekerja keras mengumpulkan dana setiap kali ingin menampilkan pementasan kesenian  ketoprak di desa mereka, Mariyo dan teman-teman sejawatnya tak akan pernah berhenti mengejar matahari. Matahari kebahagiaan akan keadaan hidup yang jauh lebih baik lagi. Kesulitan dana itu bukan lah penghambat kreativitas Mariyo, sebagai seorang seniman ketoprak untuk terus bersenandung mengukir langkah demi langkah menuju impiannya.

Comments

Popular posts from this blog

My Chevening Journey #1

My Reflection on Winning Chevening Interview 2020/2021 #2