Belajar Memaknai Keberagaman, Belajar Memaknai Hidup

UNITY IN DIVERSITY
oleh : Claudia Rosari Dewi
Unity in diversity, slogan tersebut yang mau menunjukkan kepada kita bahwa persatuan dapat dibentuk ditengah keberagaman. Setiap individu dilahirkan di tempat dan di waktu yang berbeda. Terlahir dengan kondisi yang berbeda, maka kehidupan individu yang satu dengan yang lainnya pun berbeda. Setiap hari kita selalu menemukan perbedaan, dan menjadi tantangan zaman bagi kita bahwa perbedaan tidak bisa ditolak,justru harus kita jadikan partner yang dapat menumbuh kembangkan pribadi kita.
Hidup dalam sebuah perbedaan pertama kali saya rasakan ketika saya masih duduk di bangku sekolah menengah atas di SMA negeri di kota Cirebon. Perasaan menjadi minoritas membuat saya terisolasi. Saya tampil sebagai pribadi yang berbeda dari yang lain, hampir dari mereka semua beragama muslim dan saya seorang kristiani. Saya selalu terlihat berbeda dari mereka.
Khusus anak perempuan, hampir setiap hari mereka memakai baju panjang dan juga kerudung. Kekentalan dalam hidup religiusitas mereka juga nampak dari kegiatan agama yang digelar, contohnya pesantren kilat, shalat Ied bersama, potong kurban saat Idul Adha, perayaan Isra Miraj bersama, Maulid Nabi, dan lain sebagainya. Mereka antusias menyambutnya.
Bagi yang minoritas, hal seperti ini menjadi sulit dipahami dan menimbulkan ketidaknyamanan, apalagi bersifat wajib setiap tahunnya. Saya juga harus hadir, dengan alasan kehadiran atau absen yang diperhitungkan untuk nilai akhir semester. Alhasil, sebagai murid minoritas dan masih menjadi warga baru SMA tersebut, mau tidak mau, suka tidak suka, kegiatan kegamaan yang tidak seharusnya diikuti pun harus saya ikuti. Saya merasa ada unsur keterpaksaan apalagi menyangkut hal-hal prinsipil dalam hidup beragama.
Saat itu saya merasa ada tekanan batin. Hanya berserah dan giat belajar saja yang bisa saya lakukan saat itu. Dengan ketekunan belajar dan berdoa, saya mampu bertahan selama tiga tahun di sekolah tersebut.
Sempat pula saya merasakan pertanyaan dan pernyataan yang cenderung menyinggung berkaitan dengan agama Kristen yang diberikan oleh guru pengajar SMA saya waktu itu. Saya hanya dapat menjawabnya sepengatahuan saya saja. Sekolah negeri di kota ini, memang kental akan nilai-nilai religiusitas. Tidak mudah bagi seorang pemula yang ingin mengaktualisasikan diri di tempat yang berbeda dengan dirinya.
Cerita di atas adalah contoh kecil mengenai radikalisme agama yang sudah saya alami ketika masih duduk di bangku sekolah.
Agamaku dalam keberagaman
Siapapun tidak dapat memungkiri bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural juga multikultural. Jika dilihat dari sukunya mayoritas bangsa Indonesia adalah suku Jawa, disusul oleh suku Sunda dan Madura dan suku-suku kecil yang lainnya. Antar suku pasti memiliki perbedaan ekologi dan geografi. Sebagai negara kepulauan tidaklah asing bagi kita melihat perbedaan tersebut. Bayangkan, dengan adanya Pancasila, yang katanya mempersatukan bangsa Indonesia dibuktikan bahwa 85 % masyarakat Indonesia beragama Islam, 10% Kristiani, sisanya Hindu dan Budha yang juga hidup berdasarkan pluralitas dan multikulturalitas.
Sejak kecil, saya telah diperkenalkan dengan keberagaman, khususnya agama. Sejak SD hingga tamat SMA saya disekolahkan di sekolah negeri dan bersekolah didaerah yang memang mayoritas Muslim. Keluarga saya menjadi minoritas didalamnya.
Namun, tidak dapat dipungkiri, bahwa hidup bersama dalam keberagaman seringkali dibumbui oleh peristiwa yang tidak menguntungkan. Banyak prasangka yang mengkhawatirkan terjadi atas kegiatan dari masing-masing agama. Di sekitar tahun 1990-an ,terdapat berbagai kerusuhan agama, misalnya seperti 600 gereja dirusak dan juga serangan terhadap gereja di Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok. Hingga tahun 2000-2001 terdapat perusakan gereja sebanyak 24 buah dan tahun berikutnya jumlahnya pun menyusul.
Ada dua hal yang menyebabkan terjadinya peristiwa ini, yang pertama adalah radikalisme agama. Apabila ditilik dari motif agama, ini adalah tindakan dari kaum radikalis Islam. Kedua, bukan faktor agama melainkan ekonomi politik. Dalam kerusuhan agama di berbagai tempat, yang sesungguhnya menjadi cikal bakal adalah persoalan ekonomi-politik. Kecemburuan secara ekonomi kemudian dipadukan dengan masalah keagamaan dan kerusuhan menjadi sangat keras.
Saat ini, persoalan penting bagi bangsa Indonesia adalah keharmonisan dalam hidup beragama. Harmoni disini bukanlah menyamakan semua agamanya menjadi satu ajaran, melainkan membangun sebuah harmoni dari titik mana harmoni itu harus dirajut atau dibangun.
Bagi saya, yang sudah merasakan bagaimana hidup bersama dengan perbedaan, toleransi menjadi hal penting dan urgen jika mau hidup damai dan bersatu. Pengalaman tersebut membuat saya sadar bahwa saya harus memiliki ketangguhan iman agar dapat menjadi garam dan terang di tengah perbedaan.
Dulu, saya merasa takut dan gentar sekarang semua berubah dan berbuah menjadi sebuah kemerdekaan. Saya menghayati perbedaan di dalamnya. Ternyata begitu indah saat kita mau menerima diri kita apa adanya dan menerima orang lain secara utuh, apa adanya. Alhasil, buah dan rahmat datang berlimpah dari Tuhan karena keterbukaan hati kita. Di sekolah itulah saya ditempa, dan tempaan itu membuat saya mengerti indahnya perbedaan yang menjadi sebuah persatuan karena kita memiliki tujuan yang sama. Persahabatan, prestasi, dan nilai-nilai hidup dapat saya raih justru dalam sebuah perbedaan.

Comments

Popular posts from this blog

My Chevening Journey #1

My Reflection on Winning Chevening Interview 2020/2021 #2