Cerpenku : Senyuman Terakhir Ibu

SENYUMAN TERAKHIR IBU
(Dalam rangka memperingati Hari Ibu 2013)
 Oleh : Claudia Rosari Dewi
Siska namaku. Gadis cantik, mungil, periang dan selalu penuh dengan senyuman. Aku sekarang tinggal dengan seseorang yang sangat aku sayangi. Dia ibu kandungku. Aku dan ibuku tinggal dirumah yang diwariskan oleh almarhum ayahku. Aku adalah anak tunggal dari keluarga kaya Danu Brata. Sebelum kecelakaan naas yang menimpa ayahku itu, keberuntungan selalu memihak padaku. Apapun itu, aku adalah gadis yang beruntung.
Akupun tak perlu memperdulikan bagaimana dan dengan apa aku hidup esok, harta kedua orang tuaku sudah cukup dan tidak akan habis tujuh turunan. Semua orang menganggapnya begitu. Namun sombong bukanlah sifat yang terpelihara dalam diriku. Aku tak pernah ingin menyombongkan kekayaan itu didepan teman-temanku. Itu yang menyebabkan sahabat-sahabatku berkata, siapapun akan senang bermain denganku dan selalu terhibur dengan senyumanku.
Kring..kring..kring.. kudengar dering HP disaku bajuku ketika aku baru saja pulang dari sekolah.
Halo ucapku dengan penuh semangat.
Halo Siska saying, kamu pulang jam berapa ? Ibu jemput kamu ya sekarang. Pokoknya ibu gak mau tau kamu tunggu di depan sekolah sekarang dan ingat, jangan kemana-mana ya, kita langsung check up ya! jawab ibu ketika sedang meneleponku.
Ya ibu, Siska tunggu depan gerbang kok, ucapku penuh kecewa.
Hatiku sebenarnya sangat kesal. Bisa-bisanya aku menjadi gadis yang tak sebebas ini, setiap hari aku tak diberi kesempatan menghirup udara bebas dalam hidupku.
Sebelum ayah pergi, aku tidak pernah menderita penyakit yang mematikan ini. Tapi kenapa, semua penderitaan itu menimpa aku dan ibuku. Walaupun sekarang ibu tengah menggantikan jabatan ayah sebagai pemimpin di perusahaan keluarga besar kami, ibu menjadi sering terlihat lelah dan kadang sekelibat mataku melihat ibu lebih suka murung. Keceriaannya itu sedikit demi sedikit menipis, semenjak belahan jiwanya itu pergi untuk selamanya. Aku sungguh tak tega melihat perubahan di dalam diri ibu. Tapi ibu sama sekali tak pernah menunjukkan kesusahan dan penderitaannya padaku selama ini. Ia selalu memberikan semangat bahkan harapan baru untukku. Senyumannya yang tulus itu membuat kami yakin dapat melangkah bersama meski hanya tinggal berdua saat ini. Ia benar-benar menjadi penerang dalam hidupku, bahkan tanpa ayah di sisi kami, ibu tetap kuat.
Saying, setelah kepergian ayah aku justru terserang penyakit liver yang mematikan dan membuat daya tahan tubuhku menurun drastic.
Sontak, ibu pun menjadi sangat kawatir pada kesehatanku yang menurun. Ibu seakan-akan berjanji akan menjagaku dengan segenap hatinya. Dana dalam setiap langkah dalam hidupnya ia tak ingin meninggalkan aku sendirian. Seperti saat pulang sekolah ibu tak ingin aku pulang sendirian. Ibu takut bila bahaya dari luar menyerangku. Apalagi tubuhku sekarang tak sesehat dulu.
Aku terbangun dalam lamunanku yang begitu panjang tentang ibuku. Aku tersadar dari baying-bayang pikiranku saat Bang Joni, sang pemilik warung gado-gado dan lotek didepan sekolahku, menegurku ketika aku sedang berdiri melamun, menunggu Ibu jemput tepat disebelah warungnya.
Eh neng Siska. Neng Siska teh ulah ngalamun wae atuh. Kasian neng Siska nanti cantiknya ilang loh neng. Sapa Bang Joni seraya menghiburku. Mungkin dia tahu aku sedang melamun.
Neng nunggu siapa sih emangnya ? Nunggu dijemput ? tanya Bang Joni.
Iya nih bang, nunggu ibu jemput. Sebentar lagi dating deh kayaknya.. eh itu tuh bang udah dijemput. Maaf ya Bang Joni saya pulang duluan, saya doain deh semoga dagangannya tambah laris manis. Oke bang ? jawabku diselingi humor.
Iya neng Siska hati-hati di jalan ya! Biar tambah cantik, besok-besok jangan lupa beli gado-gado sama lotek buatan Bang Joni ya! Bang Joni menjawab dengan lawakan yang sering ia timpalkan pada anak-anak sekolahku ini.
Ah dasar Bang Joni ucapku dalam hati.
Mobil ibu kemudian merapat mendekati aku dan akhirnya kami pun pergi untuk check up.
Siska, gimana tadi di sekolah ? Semuanya baik-baik aja kan saying ? Tanya ibu padaku.
Ini sudah menjadi kebiasaan ibu, ibu selalu berusaha bertanya apapun tentangku. Itulah ibu, sebuah penghiburan dalam hidupku.
Semuanya baik-baik aja kok bu, hari ini cukup lancer. Jawabku.
Sesampainya di rumah sakit aku merasakan bahwa gedung ini sudah menjadi rumah kedua bagiku, tak seperti sebelumnya aku sering menolak diajak ke rumah sakit. Dulu aku enggan menginjakkan kaki di rumah sakit. Tapi sekarang, bahkan mungkin untuk selamanya, penyakit kronis ini akan selalu membawaku ke tempat ini, entah sampai kapan, entah kapan saat itu aku tiba.
Beberapa hari setelah check up, ternyata kondisiku semakin buruk. Aku terpaksa tinggal di rumah sakit untuk menjalani rawat inap, meninggalkan teman-teman dan sekolahku. Dokter telah mendiagnosa penyakit liverku menjadi penyakit liver stadium empat. Dana apakah kali tahu ? Ibuku yang selayang pandang selalu berusaha membahagiakan aku, yang dalam setiap hembusan nafasnya selalu tersenyum, kini tak dapat lagi dipungkiri, ibu menangis, ibu terisak-isak oleh tangisannya ketika mendengar dokter memvonis penyakit itu padaku.
Ibu justru lebih khawatir dariapa aku.
Malang nian nasibku, aku Siska, gadis yang dulu seakan dicap sebagai gadis yang paling sempurna, kini harus mengalah pada takdir. Terkulai lemas di ruang ICU. Menarik diri dari kehidupanku yang dulu pernah orang sebut dengan kehidupan sempurna.
Aku masuk rumah sakit, karena sebelumnya aku sempat pingsan di sekolah. Daya tahan tubuhku memang sudah sangat lemah, tapi aku tetap memaksakan diri untuk berangkat ke sekolah.
Dan saat aku terbangun, aku sudah lengkap dengan peralatan rumah sakit yang sebenarnya sangat menyiksaku. Aku pasrah pada keadaan, tapi aku tetap berdoa. Kujumpai ibu sedang berada di sampingku, menunggui aku sampai tertidur pulas. Namun siapa sangka ibu tertidur sambil menitikkan air mata. Ia terbangun ketika aku sudah mulai sadar.
Siska.. Siska, kamu sudah sadar nak ? syukurlah saying, ibu sangat kawatir dengan kondisimu sekarang ini. Ibu benar-benar saying sama Siska. Ibu tersenyum sambil menangis.
Ya Tuhan, aku tidak sanggup melihat tangisannya itu. Tolong jaga ibuku ya Tuhan, aku benar-benar menyayanginya.
Aku pun tanpa sadar juga ikut menangis, sama seperti wanita paling tangguh yang kini ada di sampingku, memegang erat tanganku, dan menatapku penuh arti.
Aku ingin berhenti menangis, aku ingin bangun dari tempat tidur ini, dan memeluk ibu. Tapi aku tidak bisa.
Ya Tuhan.. aku takut. Sangat takut. Takut meninggalkan ibu. Takut kalau senyuman ibu pada saat ini adalah senyuman yang terakhir yang bisa aku lihat . Aku pun menangis dalam hati sambil mengadu pada Tuhan tentang kesedihan ini.
Ibu maafin Siska ya kalau selama 16 tahun hidup dalam dekapan ibu, selalu saja membuat ibu susah, bikin ibu menangis, bikin ibu mengeluarkan air mata, maafin siska ya bu, Siska ga bisa jagain ibu. Padahal sebelum ayah pergi Siska udah janji sama ayah, Siska bakalan jagain ibu seumur hidup Siska. Tapi sekarang, Siska malah buat ibu menangis, maafin semua kesalahan Siska ya bu.
Lagi-lagi aku menangis dalam pelukan ibu. Ragaku pun kupaksakan untuk memeluk ibu, tubuh yang lemah ini pun seakan tak mau kehilangan kesempatan untuk memeluk ibu. Tuhan, aku takut bila ini hanya akan menjadi pelukan yang terakhir untuk ibu. Aku tidak kuat lagi Tuhan
Siska ibu sangat saying kamu, ibu mengusap air mata dipipiku.
Aku terenyuh melihat wajah mungil ibu yang sedang memandangku penuh dengan tangisan. Tangisan yang tak pernah kulihat dari sosok ibu yang tangguh, sosok ibu yang selalu tersenyum walau ayah telah pergi meninggalkan kami lebih dulu. Aku kembali berbaring, tubuhku mulai melemah. Entah kenapa kulepaskan pelukan ibu dan kemudian berbaring di atas tempat tidur. Kini aku mulai kehilangan kesadaran.
Ibu mendekat dan kemudian berbisik.
Kamu adalah harta yang paling berharga ibu gak bisa melihat kamu begini. Jangan tinggalin ibu ya Siska, ibu benar-benar membutuhkan kamu disepanjang hidup ibu, ibu gak mau kehilangan kamu, nak. Lihat ayah, mungkin saat ini dia sedang tersenyum dan juga menangis. Ayah sudah bahagia di surga, tapi ayah juga menangis melihatmu seperti ini nak. Ibu yakin, kamu pasti bisa melawan penyakit ini, alamarhum ayahmu dan juga ibu ingin melihat Siska kembali menjadi gadis yang periang dan juga tangguh, ibu semakin menangis, tapi ia tetap mempertahankan senyuman dibibirnya. Semakin lama, semakin kecil suara ibu. Aku bahkan tak mampu bergerak lebih, aku tak mampu bangkit, aku menangis, kembali menangis dalam denyut nadiku yang terakhir.
Lalu kubisikkan kata-kata ditelinga ibuku.
Ibu, aku sangat menyayangi ibu. Maafkan semua kesalahan Siska. Maaf kalau nanti Siska pergi menyusul ayah, dan gak bisa jagain ibu seperti permohonan ayah waktu itu. Senyuman ibu sungguh menguatkan aku sampai saat ini,
Hembusan nafasku hampir berhenti dan semakin pelan, semakin pelan. Aku menutup mataku, tangisan ibu semakin kecil, senyumannya yang begitu mulia itu mulai hilang saat mataku perlahan tertutup, dan semakin tertutup, aku siap meninggalkan dunia ini Tuhan
Maafkan aku ayah.. aku tak bisa menjaga ibu. Aku meninggalkan ibu lebih dulu. Penyakit ini ternyata menghalangiku mengabulkan permohonan ayah sebelum ayah pergi. Penyakit ini yang membuatku melihat senyuman manis itu adalah senyuman terakhir ibu, ialah wanita yang membawaku mengenal dunia ini dan menghantarku dengan damai, kembali ke pangkuan Sang Pencipta diumurku yang genap 16 tahun. Selamat tinggal ibu. Selamat tinggal teman, kalian harta terindah yang pernah aku miliki, aku saying kalian.. aku menangis untuk terakhir kalinya didalam hati, dihembusan nafasku yang terakhir.

Comments

Popular posts from this blog

My Chevening Journey #1

My Reflection on Winning Chevening Interview 2020/2021 #2