Melatih kesabaran , Melatih diri untuk bersyukur


Oleh : Claudia Rosari Dewi
 
Dikehidupan kita sehari-hari, banyak sekali hal yang membuat kita dituntut untuk melatih segenap kesabaran kita. Peliknya masalah-masalah yang selalu kita hadapi ini membuat kita ditantang sejauh mana kesabaran itu ada didalam diri kita. Tuhan Yesus sendiri menuntun kita untuk senantiasa bersabar dalam pengharapan disaat memanggul salib kehidupan kita yang sulit dan penuh nestapa ini.
Kesabaran itu sendiri merupakan kesediaan diri kita menerima sebuah keadaan, apapun keadaan itu, untung rugi, suka duka, senang susah, kita dituntut untuk bersabar. Tetap dapat menata hati, tetap dapat berbahagia meski ada penderitaan dibalik semuanya itu.
Kesabaran itu dianjurkan untuk semua orang, tak pandang bulu, tak pandang darimana ia berasal, karena kesabaran itu diakui sebagai sikap yang baik,kuat, tahan, dan bijaksana, meskipun tidak banyak yang bisa, namun kesabaran itu harus diraih agar kita mendapatkan buah dari kesabaran itu sendiri.
Sabar itu batasnya kedatangan Tuhan. Tuhan sendiri akan datang tepat pada waktunya kalau kita mau bersabar. Kedatangan Tuhan itulah yang menentukan waktu sampai kapan buah kesabaran dapat kita raih. Tuhan yang menentukan waktu, cara, dan dengan siapa dan apa menyelesaikannya. Ia yang menentukan bentuk dan ukurannya. Tuhan itu tidak pernah terlambat, Ia tidak pernah meleset dalam menentukan waktu didalam hidup kita. Orang boleh saja memohon kekuatannya dalam penantiannya, menempuh jalan gelap tanpa terang, mempertahankan diri tanpa menawar, mengarungi waktu, tetap puas dengan setia menunggu, melihat tanpa rasa, hanya pandangan hampa, berdoa tanpa kata-kata, bahkan tanpa memohon dan bertanya, yang ada hanya penyerahan saja.
Kita pun dapat pula meneladani Nabi Ayub, Nabi Yeremia, dan Nabi Ellia. Mereka adalah contoh kesabaran. Marilah kita bertekun seperti Ayub , bergulat seperti Yeremia dan seperti Ellia yang hanya berseru, Aku bekerja segiat-giatnya bagi Tuhan, dan aku seorang dirilah yang masih hidup, dan mereka ingin mencabut nyawaku, (1 Raj 19-14). Tetapi Tuhan yang menjadi pengharapannya, akan mengirimnya kembali, untuk berjuang dengan ilham dan kekuatan baru. Dalam ketahanan orang bisa mengerang dan mengeluh seperti Ayub, dan seperti Ayub ia tidak akan berdosa, karena tanpa menghujat ia hanya akan membentangkan penderitaannya. Seperti Yeremia didalam kerapuhannya ia dapat berkata , Tetapi Tuhan menyertai aku seperti pahlawan yang gagah, sebab itu orang-orang yang mengejar aku akan tersandung jatuh dan mereka tidak berbuat apa-apa. Mereka akan menjadi malu sekali, sebab mereka tidak berhasil , suatu noda yang selama-lamanya tidak terlupakan, (Yer 20:11)
Dalam menghadapi olok-olokan dan cemoohan yang diterima olehnya, ia dapat berfikir,Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau mengucapkan nama-Nya, seketika itu pun dia membuat kesimpulan, apabila berfikir seperti itu maka dalam hatinya ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, seperti terkurung dalam tulang-tulangnya, ia berlelah-lelah untuk menahannya, dan akhirnya ia tak sanggup. (Yer 20:9). Maka akhirnya, hanya penyerahan dan kesabaran yang ia perjuangankan dengan keras didalam penderitaannya itu.
Ada lagi kisah yang mampu mengajarkan kita apa itu arti kesabaran dan penyerahan diri yang membuat kita akhirnya dapat mensyukurinya. Sebuah kisah tentang seorang anak dalam sebuah keluarga. Ia sangat pintar mengolah kesabarannya dan sangat pintar melakukan penyerahan diri didalam hal berdoa.
Keluarga dari anak itu ternyata sedang mengalami penderitaan. Ayahnya sudah tiga bulan tidak bekerja, ia dihentikan dari sebuah pabrik karena sakit yang ia derita. Ibu kandungnya sendiri harus bekerja ditempat yang jauh dari kediaman rumah mereka dan hanya dapat berkumpul dengan mereka seminggu sekali demi menghemat ongkos transportasi. Yang membuat hati tersayat adalah doa yang dilontarkan oleh anak kecil itu, dia masih duduk di bangku Sekolah Dasar, setiap malam ia berkata kepada Tuhan, Tuhan, mengapa Engkau tidak memberi bapak dan ibuku rejeki yang cukup?
Dan pada suatu hari ketika anak itu pulang sekolah dengan mengenakan seragam merah putih , ia sangat gembira berkata kepada ayahnya, Pak, aku hari ini diberi upah Rp 5.000,00. Anak itu ternyata membawa kue dagangan tetangganya ke warung-warung sambil berjalan menuju sekolahnya. Sukacita dan sikapnsyukur anak itu diungkapkannya dalam sebuah doa yang sederhana didepan sebuah salib yang menjadi satu-satunya hiasan dirumahnya yang sangat sederhana itu, Terimakasih Tuhan, hari ini aku bisa membeli buku tulis baru,
Bila kita dapat merasakan kesesakan hati anak itu, betapa terharunya kita dengan sikap polos anak kecil itu. Yang mengherankan lagi, ketika ada seorang yang memberinya pengertian, memberinya uang saku sebesar Rp 50.000,00 anak itu menolak. Dengan sebuah alasan, ia ingat pesan ibunya, Nak, jangan mudah menerima pemberian orang hanya karena kita kekurangan,
Yang menarik disini adalah doa anak itu, ditengah kepedihan dan pergumulan hati atas kondisi keluarganya itu. Doa anak itu menjadi sebuah motivasi untuk memurnikan doa kita. Tanpa kita sadari bahwa doa kita selama ini banyak berpusat pada diri kita sendiri. Kita terkadang banyak meminta dan menuntut kepada Tuhan sehingga mungkin Ia menjadi pusing dalam menghadapi permohonan kita yang seabrek-abrek. Doa anak itu menunjukan kepada kita bagaimana cara berdoa yang benar, penuh dengan kesabaran dan tulus hati. Doa yang polos kepada Tuhan menunjukan imannya yang murni. Iman itu nampak dalam penyerahan diri kita kepada Allah. Anak kecil itu bisa mngungkapkan rasa kecewanya kepada Tuhan tanpa takut dihukum olehNya. Dari sikap sabar itu ia bisa bersyukur atas berkat Tuhan walaupun berkat itu tampak kecil dimata manusia. Kita pun harus membentuk kesabaran kita dengan menyerahkan apa-apa yang sedang kita alami. Seperti yang terkisahkan dalam perjalanan hidup Nabi Ayub yang mengalami untung dan malang. Disaat penderitaan itu menghampirinya, ia bahkan tak pernah menghujat ataupunmenyalahkan Allah. Dalam kitab Yak 5 : 11 pun dikatakan demikian sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun ; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan
Perikop kitab suci diatas semakin menegaskan kita betapa penting nya melatih kesabaran, melatih diri untuk bersyukur . Marilah, dalam keseharian hidup kita, kita latih terus kesabaran kita, meskipun dunia tak henti-hentinya menerjang kita dengan berbagai persoalan, tetapi yakinlah bahwa Tuhan selalu ada bersama kita, mendampingi kita, Tuhan Yesus selalu menopang kita, janganlah berhenti berharap padanya, tangan-Nya takkan terlambat tuk mengangkat kita, Tuhan masih sanggup, percayalah Dia takkan tinggalkan kita. Amin 

Comments

Popular posts from this blog

My Chevening Journey #1

My Reflection on Winning Chevening Interview 2020/2021 #2