Aku dan Pekerjaan “Kecilku”


Lukas 16 : 10 – Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar.Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.”
Sambil duduk merenung, aku teringat akan homily seorang Romo ketika aku mengikuti Perayaan Ekaristi Minggu Pagi di Kapel Maria Bintang Samudra, Yogyakarta.
            Ketika membaca sepenggal ayat kitab suci di atas, homily Romo tersebut langsung menarik diriku ini untuk merenungkannya. Homili tersebut mengisahkan seorang pria dengan pekerjaannya sebagai pembantu umum di sebuah perusahaan swasta elit di Jakarta.
          Pria itu bernama Wahyu. Berusia 33 tahun, mempunyai 1 orang isteri dan 5 orang anak yang masih kecil-kecil dan belum sekolah, belum bisa apa-apa. Menurut riwayat hidupnya, pria tersebut adalah lulusan Sekolah Dasar dan berasal dari sebuah perkampungan di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Ia merantau ke Jakarta dan memboyong isteri, anak, serta ibunya yang sakit keras dengan impian agar dapat hidup lebih layak.
            Sesampainya di Jakarta, keadaan tak berubah banyak. Telapak tangan tidak mudah “dibalik” bagi seorang perantau yang “tidak punya apa-apa”. Alhasil, Wahyu, isteri, anak dan ibunya tinggal disebuah Perkampungan Kardus Kumuh di dekat sungai Cililitan, Jakarta. Bila dideskripsikan, keadaan  lingkungan tempat tinggalnya begitu memprihatinkan. Rumah dengan 7x8 m ditinggali bersama tanpa kamar mandi dan hanya beralaskan kardus yang ditumpuk tebal-tebal.
            Wahyu sebenarnya adalah pria yang sangat baik dari keluarga yang sangat sederhana. Pria dari keluarga Jawa yang sederhana ini akhirnya menikah dengan gadis cantik keturunan Sunda dan akhirnya mereka memiliki 5 orang anak. Wahyu sudah tidak mempunyai bapak. Ia anak yatim dan kini ibu kandungnya tinggal bersama keluarga Wahyu. Untungnya Wahyu adalah orang yang setia dan mendapatkan pendamping satu keyakinan agama Katolik yang juga tekun dalam bekerja dan berdoa.
            Tapi sayangnya, ekonomi keluarga mereka sangat pas-pasan. Mereka sangat ingin menyekolahkan anak mereka sampai tamat meskipun harus banting tulang berlipat-lipat, Wahyu dan Isterinya merasa siap. Karena melihat peluang pekerjaan di Kota Jakarta, pergilah mereka sekeluarga.
            Wahyu akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai tukang sapu dan pembantu umum para klining service di perusahaan elit di Jakarta. Mendapatkan pekerjaan seperti itu saja ia merasa sangat bersyukur. Karena sekali bekerja ia bisa mendapatkan 25-30 ribu rupiah yang ia pakai untuk makan sehari-hari keluarganya. Meskipun begitu, isterinya, Rina, tidak tega melihat suaminya saja yang bekerja sendirian, ia juga menyambi pekerjaan sebagai buruh cuci dan menjual gorengan titipan tetangga jika sore menjelang.
            Penghasilan juga tidak seberapa. Ibu Wahyu masih sakit dan butuh bantuan banyak dana untuk bisa menuruti saran dokter, operasi kanker payudara dan ternyata penyakit ini sejak muda telah di miliki ibunya.  Wahyu merasa sangat sedih karena ekonominya yang dapat dibilang ironi. Ia dan isterinya merasa tidak sanggup lagi hidup seperti ini, kontrakan rumah 7x8 m sudah menunggak, apalagi kedua anaknya sudah mulai besar dan waktu telah menuntut mereka untuk dapat memiliki dana bagi sekolah mereka.
            Di saat krisis seperti itu, Ibu Wahyu mengingatkan Wahyu dan Keluarganya untuk berdoa kepada Tuhan. Jangan pernah bosan berdoa kepada Tuhan. Ia merasa diingatkan kembali untuk berpasrah diri pada Tuhan memohon petunjuk, apa yang harus dilakukannya, kemana ia harus mencari pekerjaan demi membiayai tagihan rumah dan uang sekolah anaknya serta dana untuk membiayai operasi ibunya yang sudah memiliki kanker payudara stadium III.
            Di dalam pergumulah, Wahyu dan Rina, mereka tak henti berdoa, dan terus berdoa, baik ketika mereka bekerja maupun ketika berkumpul bersama dengan keluarga dirumah ‘kecil’ itu.
Wahyu sendiri adalah pribadi yang tekun, ia tidak pernah mengeluh, ia selalu bersyukur atas rahmat Tuhan bagi dirinya dan keluarganya. Itulah yang membuatnya sampai saat ini kuat, meskipun diterjang berbagai kesulitan; Wahyu dan keluarganya tetap mengandalkan Tuhan.
            Dewi Fortuna mungkin sedang memihak pada Wahyu dan Keluarga di sebuah Senin sore ketika ia sedang membersihkan lantai 4 menuju Basement kantor tempat ia bekerja. Hampir saja ia melewatkan keberuntungan itu. Tiba di lantai 3,  Wahyu tetap dengan tekun membersihkan lantai yang kotor itu. Ketika tiba di depan ruangan pemimpin umum perusahaan di lantai 3 tersebut, Wahyu melihat ada segundukan pasir, seperti pasir yang berasal dari banyak sepatu kotor yang baru saja keluar atau masuk ke ruangan pemimpin umum, sebagian pasir dan sebagian seperti sepatu yang becek hinggap dilantai itu. Belum lagi ia melihat puntung rokok yang jatuh di depan keset ruangan pemimpin umum tersebut.
            Ia sadar bahwa itu adalah pekerjaannya sehingga secara wajar ia membersihkannya. Siapa sangka bahwa Dewi Fortuna itu akan memberikan “belas kasih” kepada Wahyu dan keluarganya? Tiba-tiba saja pemimpin umum perusahaan tersebut, Pak Wirata namanya, keluar dari pintu dan melihat Wahyu sedang memungut beberapa punting rokok yang berjatuhan sampil membawa pel dan sabunnya untuk membersihkan lantai yang kotor itu.
            Posisi pada hari itu memang sudah sangat sore. Semua karyawan sudah pada pulang, entah kenapa Wahyu belum kembali kerumah, ia tetap tekun untuk menyelesaikannya hingga tuntas. Pak Wirata juga belum pulang karena usai rapat ia bertemu dengan seorang penanam saham di perusahaannya itu sampai sore bahkan petang.
            Terkejut dengan keberadaan Wahyu didepan pintu ruangannya, dengan wajah lesu dan tas yang dijinjingnya tersebut, Pak Wirata cukup terkejut karena masih ada klining service yang membersihkan lantai sesore ini. Wahyu juga terkejut namun ia langsung menawarkan bantuan untuk membawa tas Pak Wirata keluar dari ruangan menuju parkiran mobil. Pak Wirata merasa keberatan dan malah bertanya, “Nak, apakah kamu masih senang dengan pekerjaanmu itu? Kudengar ibumu sedang sakit parah, benarkah?” Tanya Pak Wirata Nampak seperti seorang yang ingin tahu.
            Wahyu membatin, bagaimana Pak Wirata bisa mengetahui hal tersebut, kemudian ia menjawab, “ Benar Pak, Ibu saya sedang sakit. Tapi dirawat dirumah, kalau saya sekarang tidak tekun bekerja, tidak ada lagi yang dapat membuat keluarga saya bertahan,” jawabnya penuh nada rendah namun yakin.
            “Mulia sekali kamu, nak. Kalau kamu tidak membersihkan lantai ini, mungkin besok saya sudah akan memarahi atasanmu itu. Nah,  besok datanglah keruangan saya pukul 3 sore. Ada pekerjaan sebagai supervisor namun tetap di perusahaan kita ini.  Aku baru ingat posisi tersebut kosong dan benar-benar membutuhkan seorang yang tekun dalam pekerjaan. Kulihat dirimu mampu melakukannya, semoga dugaanku benar,” jawab Pak Wirata penuh antusias.
            Sambil mengangkat embernya, Wahyu terlihat sangat berbinar-binar wajahnya. Ia tidak menyangka, karena ia merasa hal ini wajar, ia membersihkan hingga tuntas, bahkan sampai malam pun tidak menjadi masalah baginya. Prinsip yang ia pegang adalah, semua pekerjaan  yang menjadi tanggung jawabnya harus dapat diselesaikannya, pekerjaan sekecil apapun, ia ingin dapat mempertanggungjawabkannya secara penuh.
            Wajah riang dan senyum hingar bingar membungkus wajahnya yang berkulit sawo matang dan terllihat kumal, jawabnya, “Tapi saya tidak berpendidikan pak, saya orang bodoh.”
Jawab Pak Wirata, “Saya memilihmu karena ketekunanmu, justru karena ketekunanmu itu maka itu adalah modal, dan hanya orang yang rendah hati dan pantas yang mau menyhangkal ketekunan yang dimilikinya,”
            Mengakhiri hari itu, Wahyu membawa sukacita yang besar bagi keluarganya yang sedang menunggu dengan harap-harap cemas kedatangannya dengan perut lapar yang ingin segera diberi makan. Rahmat Tuhan beserta Wahyu disore hari itu.
***
            Sabda yang ada diawal  tulisan ini ternyata benar-benar dihidupi oleh pribadi Wahyu, seorang pembantu umum-clining service di sebuah perusahaan elit itu. Bagi saya sendiri, homili yang disampaikan Romo berkenaan dengan kisah Wahyu benar-benar mengajarkan kita semua untuk rendah hati. Manusia itu lemah, daging itu lemah, hanya Roh yang menguatkan kita untuk melawan segala yang jahat. Belum lagi godaan iblis yang tidak pernah suka melihat kita memuliakan nama Tuhan.
            Janganlah kita melihat pekerjaannya di perusahaan elit itu yang membuatnya begitu kecil, tetapi lihatlah kerendahan hatinya itu. Disini, Tuhan ingin meninggikan martabat manusia yang benar-benar mematuhi-nya dan memiliki hati yang baik untuk memuliakan nama-Nya. Tuhan ingin meninggikan Wahyu yang selama ini rendah dimata dunia.
Siapa yang mau melirik pekerjaan seperti tukang sapu atau petugas kebersihan? Banyak dari kita congkak, angkuh dan merasa sudah aman dengan apa yang kita miliki saat ini. Coba direnungkan, apakah selama satu hari ini kita sempat melihat dan membayangkan sejenak saudara kita yang berada dalam kesulitan hidup? Karena kebaikan Allah, Ia tidak menghukum kita yang angkuh ini, kita dikasihi-Nya dan Allah membuka mata kita yang selama ini tertutup, membuka selaput yang menutupi hati kita sebab itu Allah adalah Kasih.
Wahyu, sosok rendah hati bahkan dalam hidupnya yang benar-benar rendah. Di dalam surga, Tuhan telah mengadakan perundingan dengan para Malaikat Kudus untuk mengangkat Wahyu menyelamatkan dan menolongnya, mengangkat harkat dan martabatnya. Allah melihat ketekunan dalam pekerjaannya, Ia tidak meninggalkan Wahyu, justru Ia setia melihat Wahyu dengan perkara kecil yang dipercayakannya, ia melihat kesetiaan Wahyu pada pekerjaan, pada tugas, pada tanggung jawab, dan pada Tuhannya.
            Wahyu, adalah panutan bagi kita untuk memaknai penderitaan dengan ketekunan dan kerendahan hati. Tuhan sendiri yang akan menyatakan kata-kata hikmat-Nya yang menyelamatkan kehidupan kita. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita, kita yang meninggalkan Tuhan dan seringkali tidak setia dalam tugas dan tanggung jawab. Itulah yang membuat Ia sedih.
Sejatinya, kerendahan hati yang ditunjukkan oleh Wahyu beserta ketekunan dalam pekerjaan dan penderitaan yang membuat pribadi Wahyu semakin kuat dan semakin Kristiani. Memaknai hidup tidak perlu pada hal-hal yang besar. Cukuplah hal-hal yang kecil, dan dari hal kecil itu kita mengucapkan syukur. Tuhan hadir dalam segala hal, bahkan hal kecil dan hina sekalipun, Tuhan ada, Tuhan mengasihi, Tuhan menyelamatkan. Wahyu contohnya.
            Wahyu tidak mengerjakan sesuatu yang muluk-muluk hingga tawaran pekerjaan datang kepadanya. Ia hanya memperhatikan hal-hal kecil yang telah dipercayakan kepadanya, dalam tugas dan tanggung jawab, ia tidak melepaskannya karena yang hasil yang didapatkannya kecil, tetapi yang dilakukan oleh Wahyu adalah bagaimana ia dapat hidup sebagaimana mestinya, memaknai kehidupannya yang pasang surut itu dengan melaksanakan tuags sebaik-baiknya, meskipun kecil dan tidak berarti di mata banyak orang, namun Tuhan melihat kemurnian hatinya itu dengan perantaraan Pak Wirata, pemimpin di dalam perusahaan dimana ia bekerja.

            Salah seorang bijak pernah berkata kepada saya, bertahanlah dalam proses yang menjadikanmu hebat. Bertekunlah! Ketekunan akan menghasilkan buah yang sedap. Sampai saat ini, kata-kata itu saya pegang dengan sungguh-sungguh, karena saya percaya bahwa ketekunan dan kesetiaan bukanlah sesuatu yang kecil dan sia-sia. Awalnya kecil dan tidak berarti, namun kelak suatu saat nanti, Tuhan akan mengeluarkan kata-kata hikmat-Nya sehingga yang ‘kecil’ itu akan menjadi ‘besar’.


Comments

Popular posts from this blog

My Chevening Journey #1

My Reflection on Winning Chevening Interview 2020/2021 #2