Aku Sama Seperti Kamu


(Oleh : Claudia Rosari Dewi)
Ketika melihatnya aku tertegun, ketika mencoba menyapanya aku tersentuh, ketika aku mendekatinya aku hanyut atas keterbatasan yang ia miliki, ketika aku berbicara dengannya aku terinspirasi oleh semangat hidupnya sebagai seorang manusia, ketika aku pandangi matanya dalam-dalam, tersirat bahwa ia ingin sekali berkata, “aku tidak berbeda, aku sama seperti kamu, teman,”.
Aku bersyukur kepada Tuhan, karena aku selalu memiliki hari baru yang indah yang memberiku nafas kehidupan. Membaca sepenggal kalimat diatas membuatku semakin bersyukur dan mengingatkan aku akan sebuah peristiwa yang sering aku alami ketika aku berlibur di rumah nenekku di Yogyakarta. Kalimat itu tercipta karena perjumpaanku dengan seorang anak perempuan penderita tuna wicara yang usiamya lebih muda dariku. Ia tinggal  persis di depan rumah tempat nenekku tinggal.
Anak perempuan itu bernama Arsih, ia berasal dari keluarga Muslim. Kini ia  mulai tumbuh menjadi seorang gadis belia. Kepolosannya sampai saat ini masih kuingat. Ketika aku berlibur ke rumah nenek, ia adalah salah seorang anak tetangga yang paling sering aku jumpai. Waktu terus bergulir dan membuktikan bahwa ia pun tumbuh layaknya manusia normal diluar sana.
Ketika pertama kali datang berlibur kerumah nenekku, saat aku masih kecil dan belum memahami apa-apa tentang anak itu yang sering main ke rumah nenekku, aku acuh tak acuh kepadanya. Kalau boleh jujur, aku sering merasakan bahwa kehadiran anak itu ke rumah nenekku seperti seorang pengganggu dan pengacau. Aku dan beberapa keluargaku sering tidak memahami tingkah lakunya sebagai seorang anak tetangga yang menderita tuna wicara.
Dulu, hal yang membuat aku kesal terhadapnya adalah ketika aku melihat dia mengambil barang-barang yang menarik buatnya dan menaruhnya di sembarang tempat. Ia seperti orang asing yang datang mengacaukan rumah orang lain. Ibunya sendiri telah mengingatkannya untuk tidak berperilaku seperti itu, karena ia masih kecil dan tidak memahami apa-apa saat itu maka tingkah lakunya yang buruk itu sulit sekali diubah apalagi bila kita mengaturnya, ia tidak akan memahaminya.  Tetapi Pak Dhe dan Bu Dheku yang juga tinggal di rumah nenek, selalu mengajari aku untuk tidak menyakitinya sekalipun ia begitu menyebalkan dan mengesalkan.
Nenek dan kakakku sering merasakan ketidaknyamanan atas kehadirannya. Berbeda dengan Pak Dhe dan Budhe ku, mereka berdua ramah dan tulus mengasihinya seperti anaknya sendiri. Bila ada makanan tersisa di rumah, Bu Dhe tak segan-segan menawarkannya bahkan memintanya untuk dibawa pulang saja.
Dulu, aku masih kecil, belum tahu apa-apa tentang anak tersebut yang jelas berbeda dengan kehidupan anak-anak normal lainnya. Sempat aku bertanya pada Bu Dheku pada waktu itu siapakah ia dan mengapa ia berbuat seperti itu. Ada perkataan Bu Dhe yang sampai saat ini masih aku ingat, “Dia itu tuna wicara. Tidak seperti kamu yang normal. Kasihan dia. Makanya jangan sekalipun kita menyakitinya, dia juga punya keinginan yang sama dengan kita, tapi terbatas oleh kondisi fisiknya. Kita yang diminta oleh Tuhan untuk membantunya,”.
Kuserap dalam-dalam kalimat yang diungkapkan Bu Dhe kepadaku ke dalam benakku sampai saat ini. Mulai saat itu, beberapa hari kedepan setelah perbincanganku dengan Bu Dhe aku mulai memandangnya berbeda. Aku tidak lagi memandangnya sepele dan rendah. Aku dan dia sama-sama bertumbuh menjadi seorang gadis, tetapi aku lebih tua lima tahun darinya. Selama waktu  bergulir dan juga kekonsistenanku tinggal ke rumah nenek ketika liburan semester tiba, aku merasa semakin dewasa dalam memandang anak itu, terlebih karena keterbatasan yang ia miliki, ia mengajariku sesuatu tentang kehidupan ini.
Di suatu pagi yang indah, ketika aku sedang menyapu halaman depan rumah nenekku, aku melihat ia sedang menunggu ibunya mengeluarkan motor. Aku melihatnya menggunakan pakaian seragam sekolah SMP. Dari jauh aku melihatnya dan terbuka kesadaranku betapa hebatnya anak yang menderita tuna wicara itu, sekarang ia sudah duduk di bangku SMP. Ada perasaan senang melihatnya bisa tumbuh sebagai seorang anak sewajarnya seperti aku. Aku memasuki jenjang perkuliahan dan kini ia tumbuh besar sebagai seorang remaja SMP.
Penasaranku tak kutinggalkan begitu saja, maka aku mendekatkan pandanganku terhadapnya, aku mendekatinya meskipun itu masih di dalam pagar rumah nenekku. Rumah kami hanya terhalang oleh satu jalan kecil, jalan yang sering dilewati oleh kendaraan bermotor dan orang-orang yang berjualan makanan membawa gerobak. Aku hentikan kegiatanku menyapu dan mulai membuka pembicaraan dengannya.
Ketika sedang menunggu ibunya, ia melihatku mendekatinya dan berbicara padaku, “Hay,” ucapnya. Kubalasnya dengan senyuman dan berkata, “Hay. Kamu sekarang kelas berapa?” tanyaku. Saking lamanya aku tidak berkomunikasi dengannya, aku hampir lupa bahwa ia tuna wicara. Aku pikir dia tidak mendengarkan apa yang aku katakan, aku mengulangi lagi pertanyaan itu dengan nada sedikit lebih keras dari sebelumnya.
Anak perempuan itu tidak menjawabnya dengan kata-kata, ia menjawabnya dengan bahasa tubuh. Ia menunjuk-nunjuk seragam SMP yang ia gunakan. Ia berpakaian lengkap seragam muslim anak SMP dilengkapi dengan kerudung dan tas ransel berwarna merah muda. Dengan tangannya yang menujuk pada baju SMP nya, aku mengerti dia sudah menjadi anak SMP sekarang ini.
Ketika hari itu aku memperhatikan dan mendekati anak perempuan itu, mengajakknya berbicara, mencoba menaruh ‘kasih’ kepadanya, satu hal penting yang aku dapatkan adalah semangat hidupnya untuk bisa sama seperti anak-anak yang lain yang sejak ia masih kecil sudah aku temukan di kedalaman matanya. Setiap kali aku berjumpa dan bertegur sapa dengannya tersirat didalam dirinya ia mau mengatakan, “Aku tidak berbeda, aku sama seperti kamu,”  namun hal itu tidak dapat ia ungkapkan karena keterbatasannya itu.
            Ibunya langsung mengajakknya berangkat sekolah seusai mengeluarkan motor dari dalam rumahnya, namun seketika itu ia terhenti karena melihat aku sedang berbincang dengan putri kesayangannya. Ibunya lalu menjawab pertanyaan yang kulontarkan pada putrinya, “Iya dek, syukur Alhamdullilah anak ibu sudah SMP, bisa sekolah seperti yang lain juga meskipun kondisinya tetap begini sejak lahir, bisa belajar sampai tingkat SMP sekarang saja sudah bersyukur. Mari dek, sudah waktunya saya antarkan dia ke sekolahnya,”ujar Ibu Eti, ibu kandung anak perempuan itu.
            Aku menemani mereka sampai mereka berangkat. Kusampaikan salam dan ucapkan hati-hati kepada keberangkatan mereka. Aku termenung sejenak akan kata-kata ibu Eti bahwa ia selalu bersyukur  meskipun anak kandungnya itu memiliki keterbatasan dan pertumbuhan emosi sosialnya tidak sama dengan anak-anak normal lainnya. Ia bahagia dan bersyukur karena anaknya secara fisik juga dapat dibolehkan Tuhan untuk bertumbuh secara normal dan masih bisa belajar disekolah sampai tingkat SMP.
            Peristiwa inilah yang selama liburan di rumah nenekku tidak bisa aku lupakan, selalu aku jadikan pelajaran penting bagaimana aku menaruh empatiku pada sesamaku yang ‘kecil’. Melihat anak perempuan itu dengan keterbatasannya dan pertumbuhannya itu mengajariku untuk boleh bersyukur kepada Tuhan atas rahmatnya yang melimpah kepadaku hingga aku bisa memperoleh kesempatan tumbuh normal seperti anak-anak pada umumnya.
            Tentunya terhadap orang-orang yang memiliki keterbatasan seperti itu aku juga tidak boleh melupakannya. Dari pengalaman ini, Tuhan mau mengingatkan aku dan juga keluargaku untuk selalu melihat mereka yang lemah. Memperhatikan, memperdulikan, memperlakukan, dan menabur benih kasih kepada mereka yang tidak seberuntung kita.
            Alangkah memprihatinkan jika aku tetap pada egoku yakni memandang anak perempuan itu remeh dan acuh tak acuh. Setelah aku mulai tumbuh dewasa, betapa aku membayangkan bagaimana perasaan ibu dan keluarga anak itu setelah tahu bahwa anaknya adalah penderita tuna wicara dan tidak bisa sembuh. Pemberian pendampingan kepada anak perempuan itu tentu tidaklah mudah. Terbesit dalam pikiranku, anak itu pasti sering di ejek dan di hina oleh teman-temannya karena ia tidak bisa bicara dan hal itu sudah pasti membuat sedih keluarga dan orangtuanya sendiri lebih-lebih ibu kandungnya.
            Belajar dari memahami kehidupan orang lain yang berbeda dengan orang normal lainnya, aku menyimpulkan suatu hal yang patut dilakukan bagi kita sebagai mahluk ciptaan Tuhan terlebih kita sebagai umat Kristiani yang diajarkan untuk saling mengasihi sesama kita. Sekalipun kita memiliki iman, pengetahuan, dan anugerah yang berlimpah, namun apabila kita tidak memiliki kasih terhadap sesama semuanya akan sia-sia.
            Seperti yang diajarkan Tuhan Yesus kepada kita dalam Injil Matius 22: 39, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,”. Itulah inti ajaran umat Kristiani yakni ‘Kasih’. Aku mengalami pengalaman akan Allah yang menyadarkan aku untuk mengasihi mereka yang kecil, lemah, tersingkir, dan diffable seperti halnya anak perempuan itu. Kita semakin disadarkan untuk dapat tumbuh dalam iman, pengharapan dan kasih dengan solidaritas kita kepada mereka yang lemah, miskin, tersingkir, dan diffable.
Aku belajar dari pengalaman bersama dengan anak perempuan penderita tuna wicara ini dengan melihat penderitaan mereka, mendengar jerit tangis mereka, mempelajari karakter, situasi dan tindakan mereka. Sebagai umat yang beriman, kita perlu mengembangkan indra belas kasihan dan solidaritas dengan merasa selalu bersama mereka yang lemah, miskin, tersingkir dan diffable. Dari situlah kita dapat melihat gambaran wajah Sang Guru Sejati kita yakni Yesus Kristus di dalam penderitaan mereka.
            Dengan menumbuhkan kepedulian dan solidaritas kepada mereka berarti kita semakin menumbuhkan iman kepada-Nya dan mengikuti pola tindakan-Nya. Mengabaikan dan tidak peduli kepada mereka yang miskin, lemah, tersingkir dan diffable sama saja dengan tidak percaya pada kemuliaan Allah yang hadir dalam wajah kehidupan orang-orang yang menderita zaman sekarang ini.

Yang sangat penting diketahui bahwa bukan penderitaan yang dialami mereka itu yang dikehendaki Allah, melainkan umat Allah yang mau mengakui bahwa dari dirinya tidak mempunyai kekuatan untuk menolong diri sendiri melainkan hanya percaya dan mengandalkan Allah, bukan kepada kekuasaan manusia di dunia ini. Mari kita bersama-sama selalu menumbuhkan belas kasih dan solidaritas kepada sesama terlebih bagi mereka yang menderita, miskin, lemah, tersingkir dan diffable.

Comments

Popular posts from this blog

My Chevening Journey #1

My Reflection on Winning Chevening Interview 2020/2021 #2