Ditempa Tuhan Menjadi Batu Penjuru


oleh : Claudia Rosari Dewi

Dalam sepenggal cerita ini, aku ingin menceritakan bagaimana Tuhan benar-benar memintaku untuk dapat menjadi garam dan terang dunia melalui tempaan yang diberikan oleh-Nya. Pengalaman ditempa menjadi batu penjuru ini kudapati ketika aku duduk di bangku SMA. Aku adalah seorang siswi Katolik yang selama 12 tahun menuntut ilmu di sekolah negeri. Dari SD sampai SMA mengenyam bangku sekolah negeri dengan berbagai macam suka dan dukanya. Pengalaman ini menggemblengku menjadi seorang pribadi yang benar-benar baru dan berbuah lebat. Waktu SD hingga kelas 1 SMA, aku adalah seorang murid yang sangat pemalu dan pendiam. Tidak banyak yang memberikan perhatian kepadaku. Dari diriku sendiri memang aku merasa bahwa aku kurang percaya diri dalam bergaul dengan teman-teman sebayaku.
Puncak ketidakpercayaan diri itu muncul ketika aku duduk di bangku SMA. Pengalaman berat kudapatkan dimasa ini, termasuk pengalaman bak mutiara juga ada di masa ini. Masuk SMA Negeri di Cirebon adalah tantangan tersendiri untuk murid-murid minoritas pasalnya Kota Cirebon ialah kota dengan mayoritas agama Muslim, tentu saja aku dan keluargaku yang notabene umat Katolik yang rajin juga merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut.
Ketika SMA aku ditantang oleh berbagai macam hal. Salah satunya ialah aku menjadi murid minoritas di kelas dan hanya satu-satunya yang beragama Katolik. Tantangannya aku harus tampil berbeda dengan yang lain. Sekolah mengharapkan semua murid memakai pakaian panjang (busana muslim) setiap hari ke sekolah, dan aku bisa terlihat sangat berbeda dengan mereka hanya dari segi penampilan saja. Ketika di kelas, beberapa guru juga memperlakukan aku dengan berbeda karena aku berbeda keyakinan dengan mereka misalnya seperti memberiku nilai yang berbeda dengan murid lain, ketika pelajaran agama beberapa guru bertanya pertanyaan tentang umat Nasrani yang terkadang ‘memojokkan’ aku diantara teman-temanku, cara melihatku dari atas sampai bawah berbeda, bahkan ada yang tidak mau bersalaman denganku, dan lain-lain. Persoalan lain ada juga satu mata pelajaran yang dituntut oleh mereka aku bisa lulus agar aku bisa naik kelas  yakni mata pelajaran Bahasa Arab.
Diawal tahun, aku sungguh merasa tidak betah. Pelajaran Bahasa Arab menjadi salah satu alasannya, dan guru-guru pun tidak mau tahu akan keadaaanku yang tidak pernah belajar bahasa arab sedikitpun sebelumnya. Mereka hanya mau aku dapat mengikuti pelajaran Bahasa Arab dengan baik tanpa ikut serta membimbingku agar mengetahui dasar-dasar Bahasa Arab. Padahal aku sama sekali tidak setara dengan mereka yang sejak kecil sudah diajari mengaji. Awal tahun memang sungguh-sungguh pertumbuhan yang buruk bagi iman dan mentalku, karena aku terombang-ambing dengan perasaan ragu dan tidak percaya diri untuk tampil dikelas sebagai seorang pribadi yang berbeda dari yang lain. Aku sering merasa cemas karena tertekan oleh kondisi yang tidak biasa ini. Aku pun juga seringkali menangis karena kondisi yang ‘memojokkan’ aku tersebut. Dari keluarga, mereka semua mendukungku, namun mereka tidak mengetahui penderitaan sehari-hari disekolah. Hanya aku yang memahami ketakutanku.
Sampai pada suatu hari di tahun kedua, aku merasa Tuhan mengabulkan doaku akan ketakutanku menjadi murid di sekolah ini. Suatu waktu ketika aku dan keluarga usai mengikuti perayaan Ekaristi di gereja kami, Ibuku mendaftarkan aku untuk mengikuti Sakramen Penguatan (Krisma). Awalnya aku ragu, apakah aku masih bisa sempat mendaftar karena aku adalah orang terakhir yang mendaftar di batas akhir pendaftaran. Aku merasa beruntung bisa diikutkan dalam Sakramen Penguatan ini.
Aku bertemu dengan seorang Imam yang memberiku Sakramen Penguatan. Imam tersebut menguatkan aku dan sungguh mengetahui pergumulanku pada saat itu. Kami berbincang lama setelah Sakramen Penguatan itu. Di tahun kedua awal ini, perubahan signifikan sungguh terasa sejak aku mendapatkan Sakramen Penguatan serta menemukan relasi keluarga dengan Imam tersebut yang sangat mendukungku. Aku menceritakan segala macam pergulatanku selama studi di sekolah negeri, dan bagaimana aku merasa tersingkirkan karena aku punya perasaan tidak percaya diri.
Ada satu kalimat dari Imam tersebut yang berperan menjadi pendongkrak kesuksesan ku pada waktu menuntut ilmu di SMA. Ia pernah berkata, “Kamu harus jadi berbeda dari yang lain. Kamu akan jadi garam dan terang bagi yang lain,” ungkapnya  ketika malam ramah-tamah usai sakramen tersebut. Dari situ, aku merasa Roh Kudus menyelubungi aku dengan memberanikan aku berbicara kepada beliau. Aku menjadi heran, karena tampil percaya diri di depan orang lain saja tidak bisa, mengapa aku dapat bertemu dan mengungkapkan apa yang kualami ini secara berani dan spontan begitu saja? Aku menangis juga pada malam itu karena kasih Tuhan yang luar biasa menyelamatkan hidupku.
Setelah dikuatkan melalui Sakramen Penguatan dan diberikan kekuatan melalui kata-kata dari seorang Imam, aku melesat seperti pesawat Jet. Kutekuni baik-baik ditahun keduaku di Jurusan IPA ini dengan dinamika yang masih sama seperti di tahun pertama. Kunikmati dan kugumuli terus kesusahan-kesusahan didalamnya, dengan mengandalkan kekuatan Tuhan dan selalu mengingat kata-kata Imam tersebut. Aku menjadi tekun dan rajin di kelas dua, tidak lagi merisaukan ejekan atau sindirian teman yang menganggap aku berbeda, kuiyakan dan kumaklumi saja apa semua yang mereka katakan kepadaku. Aku memasang telinga yang tebal.
Tetapi, siapa sangka sejak saat penerimaan Sakramen Penguatan itu Roh Kudus menerangiku dan aku beroleh banyak rahmat yang sungguh aku syukuri? Kelas dua dan tiga setelah aku berusaha tekun, setia, dan bertahan di sekolah tersebut, aku memperoleh hasil yang gemilang, aku menjadi murid berprestasi di sekolah itu dan sering mengikuti perlombaan menjadi perwakilan dari sekolah dan diakhir tahun pelajaranku di sekolah tersebut aku menjadi terbaik dari sepuluh lulusan terbaik jurusan IPA tahun ajaran 2011/2012.
Aku sendiri tidak menyangka hal itu apalagi kedua orangtuaku. Aku merasa bangga akan kekuatan Tuhan yang diberikan kepadaku. Aku bersyukur bisa membawa kedua orangtuaku ke pelepasan kelas tiga. Orang tuaku diundang bukan karena aku membuat keonaran, melainkan aku menjadi juara terbaik dari sepuluh juara terbaik jurusan IPA. Betapa luar biasanya Engkau ya Tuhan Allahku.
Saat ini, peristiwa semasa SMA yang menjadi minoritas dan dikucilkan selalu menjadi bahan refleksiku dan menjadi kekuatanku dalam melangkah. Aku berdoa dengan sungguh-sungguh untuk masa depanku. Kini aku membuktikan apa yang dikatakan Imam tersebut, menjadi garam dan terang dunia. Kalimat lain darinya yang meneguhkan aku ialah, “Carissima Rosa, ubi voluntas ibi via est, et perseverantia faustum eventum feret,” yang artinya, “Rosa, dimana ada kehendak disitu akan ada jalan, dan ketekunan akan menghasilkan buah yang sedap,”
Terimakasih Tuhan atas rahmat dalam hidupku ini. Semoga aku pun dapat selalu menempa diriku menjadi peribadi yang cerdas, tangguh dan missioner yang selalu memuji serta memuliakan nama-Mu. Kini aku mengerti bahwa roda hidup manusia akan selalu menerima susah dan sulit, senang dan gembira, hanya kesetiaan dalam berharap pada Tuhan yang akan menunjukkan waktu dari segala sesuatunya. Tuhan telah menempa aku menjadi batu penjuru, aku ditempanya dari biji sesawi yang kecil menjadi berbuah sangat lebat. Aku sungguh bersyukur atas pengalaman iman ini di usiaku yang masih belia. Akan aku jadikan bekal untuk semakin tekun dan setia bertahan dalam segala hal demi mewujudkan apa yang menjadi kehendak-Nya.




Comments

Unknown said…
puji Tuhan rosa... :)

Popular posts from this blog

My Chevening Journey #1

My Chevening Journey #2 - My Reflection on Winning Chevening Interview 2020/2021

Resensi Novel : Diary Pramugari; Sex, Cinta & Kehidupan