Panggilan untuk Tetap Setia pada Panggilan


SETIA. Sebuah kata sederhana yang mengandung makna amat dalam. Siapapun dapat mengucapkan kata ini dengan mudah, namun tidak semua orang mampu melaksanakan pada hakikat yang sebenarnya. Tema pada bulan Maret ini membujuk saya sebagai penulis bukan untuk mengupas makna setia secara harafiah, tetapi menghantar saya sebagai seorang kristiani merefleksikan hidup yang selama ini dijalani merupakan berkat dari kesetiaan mengikuti panggilan dalam diri, saya ‘dipanggil’ terus di ‘panggil’ tanpa bertanya apa alasannya, saya setia ikuti ‘panggilan’ itu, sampai detik ini.

Panggilan Sebagai Kaum Minoritas
Dulu, saya tidak pernah menyadari bahwa bersekolah di negeri merupakan suatu ‘panggilan’ yang sangat indah. Dulu saya berpikir dipermukaan, menjadi minoritas di sekolah yang mayoritas beragama Non Kristiani adalah suatu bencana besar, suatu kegagalan dan pintu masuk tidak bisa berkembang optimal. Pandangan itu benar-benar salah. Ketika itu saya frustasi dengan kondisi lingkungan yang menjadikan saya sangat dikucilkan hanya karena status agama dan saya dengan gegabah ingin pindah sekolah, jika orang tua tidak memindahkan saya dari sekolah itu pada saat itu juga maka saya lebih baik tidak sekolah saja. Pikiran itu amat dangkal, sampai suatu ketika ada ‘panggilan’ membara dalam diri yang mengatakan pada saya untuk tidak pindah dan panggilan itu membuat saya setia pada panggilan-panggilan berikutnya. Akhirnya, karena kesetiaan pada panggilan itu saya bisa membuktikan untuk menjadi yang versi terbaik dari diri saya dan bonusnya tanpa saya duga menjadi bintang yang sangat terang yaitu menjadi lulusan terbaik pada jurusan IPA di sekolah itu. Saat ini saya menyadari, itulah kekuatan setia pada panggilan.

Panggilan menjadi Mahasiswa ‘Kura-Kura’ Spesial
Kura-kura? Ya, jadi mahasiswa kura-kura-kura; kuliah rapat-kuliah rapat, bukan kupu-kupu; kuliah pulang-kuliah pulang. Tantangan sebelumnya adalah bagaimana saya bisa eksis ditengah kaum mayoritas non Kristiani. Tantangan ketika mahasiswa adalah bukan soal menjadi minoritas, namun bagaimana saya dapat menjadi ‘spesial’ / menjadi lebih ‘berbeda’ diantara semua yang sama itu. Saya justru berada dilingkungan mayoritas karena berkuliah di perguruan tinggi swasta Katolik terbaik di Kota Yogyakarta. Keotentikan pribadi yang benar-benar diuji saat ini.
Saya menikmati masa-masa kuliah sebagai mahasiswa yang sangat sibuk, senang belajar dan beraktivitas, mengembangkan diri, bermitra dan bertemu banyak orang, berorganisasi dan berbicara di depan massa. Kuliah ditempat yang mayoritas beragama sama dengan saya ternyata bukan berarti semuanya terasa mudah, nyaman dan menyenangkan, melainkan bagaimana saya harus menjadi berbeda, unik, dan spesial diantara semua yang sama. Bila dilihat, banyak mahasiswa yang cemerlang akademisnya namun non akademisnya kurang; ada juga yang cemerlang non akademisnya namun akademisnya amat payah; ada juga yang tidak sama-sama bagus di akademis maupun non akademis; ada yang memang diberikan anugerah untuk seimbang antara yang akademis maupun non akademis, dan beruntungnya Tuhan memberikan anugerah pada saya yakni kriteria mahasiswa yang baik di akademis dan non akademis. Itupun bagi saya masih kurang spesial; seimbang akademis yang sifatnya kecerdasan intelektual dan non akademis yang sifatnya kecerdasan emosional, mendorong saya untuk mencari yang lebih dari itu, tidak pernah/jarang terbesit dipikiran mahasiswa pada umumnya; menggali kecerdasan spiritual. Ini yang akhirnya membuat saya merasa semakin menjadi pribadi yang spesial.
 Pengalaman memiliki nilai yang baik di akademis, mendapatkan posisi jabatan utama dan penting di sebuah organisasi mahasiswa tertinggi di kampus mendorong saya untuk memperkaya cara mengolah hidup dan semakin mengenal diri saya sendiri dengan bergabung bersama Komunitas MAGIS yakni komunitas orang muda Katolik yang belajar Spiritualitas Ignasian; spiritualitas St. Ignatius yang dimiliki oleh para Imam-imam Jesuit di seluruh dunia. Pengolahan rohani dan hidup di komunitas ini menggembleng saya menjadi pribadi yang makin kuat, tidak mudah goyah, tekun, tekad kuat dan sedikit ‘ngeyel’, berambisi namun cerdas memanfaatkan peluang sampai akhirnya mendapatkan kesempatan pergi ke luar negeri, ke Polandia, untuk mengikuti Magis Gathering 2016. Ini merupakan bonus dari ‘kengeyelan’ yang saya ciptakan, saya bukan dari keluarga mampu dan bukan juga anak yang sangat cerdas, tetapi saya bertekad pada diri sendiri, bahwa sebelum saya lulus dari universitas saya harus sudah pernah ke luar negeri, dalam rangka apapun, dengan siapapun dan dimanapun negara/tempatnya. Atas dasar kesetiaan pada tekad yang kuat dan kengeyelan itu akhirnya saya bisa mewujudkannya. Saya juga membangun bnyak relasi sejak awal masuk kuliah dan awal masuk komunitas ini dengan para Imam/Romo Jesuit, dan saya beruntung sekali selama 4 tahun lebih dididik secara mental oleh mereka; dan saya merasa lebih mantap untk melangkah ke depannya dengan bekal semua pengalaman yang lengkap ini semasa kuliah.

Panggilan untuk Mengejar Impian
Sudah melewati langkah - demi langkah, awalnya bagaimana menjadi yang berbeda ditengah mayoritas, bagaimana menjadi spesial ditengah semua orang yang sama, dan saatnya setelah menjadi spesial bagaimana bisa mengaplikasikan seluruh idealisme dan impian dalam dunia nyata.
Setelah lulus kuliah, sangat banyak lamaran pekerjaan yang ditawarkan pada saya, banyak juga yang saya lamar, saya ingin menjadi orang yang ‘anti-mainstream’ artinya saya ingin bekerja, berkarya, dan berkarier dengan memberikan makna disetiap hal yang saya kerjakan. Saya tidak mau mendewakan pekerjaan yang banyak menghasilkan uang namun tidak sama sekali menemukan makna dan menjadi diri sendiri selama bekerja; itu sungguh menyiksa eksistensi diri sebagai manusia. Saya ingin berekspresi dan berinovasi bebas selama bekerja. Sejak SD - Kuliah saya duduk di bangku yang mensistematiskan pikiran saya, maka selama berada di dunia kerja, saya harus bisa membenturkan sistematika dalam pikiran saya yang sudah terbentuk iu dengan kepribadian saya dan dengan realita yang ada di depan mata.
Banyak sekali perusahaan besar swasta maupun berkiprah di BUMN yang memberikan saya kesempatan; namun tak jarang yang saya lepas/tidak ambil. Seperti saat ini, saya bekerja  sebagai tenaga kependidikan di sebuah institusi pendidikan tinggi Katolik; sebagai Staff International Office di Unika Soegijapranata Semarang. Mengapa tidak saya ambil kesempatan sebagai pegawai Bank? Mengapa tidak saya ambil kesempatan sebagai HRD di sebuah perusahaan? Mengapa tidak saya ambil peluang bekerja sebagai PNS? Saya mengambil pilihan saya saat ini (jika Tuhan  tidak mengubahnya) tujuannya adalah menjadi lebih bermakna daripada hanya sekedar seorang pegawai biasa pada umumnya. Disini saya berpeluang untuk studi lanjut lagi dalam dan luar negeri, berpeluang untuk diangkat menjadi dosen, dan telah disiapkan jenjang karir nya menjadi seorang pemimpin di tempat ini, belum lagi hal ini di dukung dengan kemampuan bahasa inggris yang harus terus meningkat seiring dengan pekerjaan yang ‘mengurusi’ mahasiswa, peneliti, dosen, dan tamu asing Unika.
Impian saya sejak duduk di bangku kuliah adalah menjadi praktisi di dunia pendidikan (dosen & penulis), berkarya untuk kemanusiaan dengan menjadi psikolog dan mengembangkan diri dalam kewirausahaan. Saya merasa saat ini saya tetap tekun melihat panggilan saya yang sebenarnya. Suatu saat nanti saya tidak hanya bekerja di sebuah sistem; tetapi saya ingin membuat sistem sendiri; saya tidak mau hanya bekerja pada orang lain; tetapi ada orang lain yang nantinya bisa bekerja sama dengan saya; saya tidak mau hanya duduk dibelakang layar saja, tetapi berani tampil ke publik membagikan ilmu dan pengalaman hidup yang saya miliki. Saya menduga, inilah hasil didikan dan gembelengan hidup selama duduk dibangku sekolah, dan semoga cita-cita yang mulia ini ditunjukkan jalan-Nya oleh Tuhan.

Panggilan untuk Lebih Mencintai bukan Lebih Dicintai
Tidak jarang hal ini menjadi lebih sulit, karena manusia itu sendiri sangat senang dicintai daripada mencintai ; lebih suka meminta disayangi dari pada memberi sayang; lebih bahagia jika diperhatikan daripada memperhatikan dunia sekitarnya.  Saya yakin juga bahwa selama ini apa yang saya lakukan untuk orang lain adalah bentuk kecintaan pada orang lain, melayani orang lain, agar orang tersebut mendapatkan apa yang sepantasnya didapatkannya. Saya pun mengakui bahwa mengikuti panggilan untuk lebih mencintai orang lain dari pada diri sendiri itu sangat sulit; sama seperti ajaran Yesus yaitu cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri. Meneruskan panggilan ini bagi saya tidak semua orang dapat melakukannya dengan sempurna, namun saya tetap mencoba untuk setia pada panggilan lebih banyak mencintai dari pada ingin dicintai dengan mengandalkan Tuhan serta meneladani Bunda Maria yang rendah hati. Sedikit banyak, saya terpikat dengan kepribadian Bunda Maria yang dengan rela melakukan kehendak Tuhan, menjawab setiap permintaan Tuhan dengan jawaban ‘ya’. Dengan panggilan untuk lebih mencintai dari pada dicintai ini, saya berusaha untuk meruntuhkan ego yang terlalu dominan dengan memohon rahmat kerendahan hati Bunda Maria. Saya pun tidak pernah bisa menebak apa bonus dari Tuhan dengan kita lebih member cinta pada orang lain. Hanya saja, inilah panggilan yang saya alami sepanjang hidup berproses dan mengolah diri terus menerus.
Pada akhirnya, setiap orang yang saat ini sedang hidup pun sebenarnya sedang bergulat untuk mengikuti panggilannya. Saya bersyukur sampai detik ini masih bisa mengolah dan merasakan panggilan untuk tetap setia pada panggilan-panggilan hidup berikutnya, semoga setiap orang yang mengenal Kristus pun tetap setia mengikuti-Nya. Pada hakikatnya, setiap orang itu dipanggil sesuai dengan rancangan Tuhan tinggal bagaimana kita mau tetap setia pada panggilan-panggilan berikutnya. Semoga sharing dan refleksi penulis ini membantu setiap pembaca untuk menemukan panggilan dalam dirinya, menemukan panggilan untuk tetap setia pada panggilannya itu. Tuhan memberkati J(crd)

Comments

Popular posts from this blog

My Chevening Journey #1

My Reflection on Winning Chevening Interview 2020/2021 #2