Kuberikan yang Terbaik Untuk-Mu
(MAGIS JCAP 2015 Committee)
(All facilitator learned the Ignatian Modul together)
(My Peregrination with the team. We did it in Rosa Mestika!)
(MAGIS JCAP 2015 Committee)
(Me and my sharing group)
I’ll
try my best. Aku coba melakukan yang terbaik untuk-Mu. Kalimat ini begitu
menggema didalam kepalaku sejak pengalaman peregrinasi
yang kedua kalinya aku alami. Selama duduk dibangku kuliah, aku mengikuti
sebuah Komunitas Orang Muda Katolik yang belajar Spiritualitas Ignasian dibawah
bimbingan para Romo-romo Jesuit, Komunitas itu adalah Komunitas Magis. Suatu
ketika, bulan Desember 2015 yang lalu, aku dimintai bantuan oleh Romo Moderator
Komunitas Magis untuk menjadi fasilitator dalam sebuah acara Magis terbesar
pada tahun itu yakni Magis JCAP (Jesuit
Conference Asia Pasific). Disana, tugas fasilitator adalah mendampingi para
peserta Magis Luar Negeri yang datang dari negara-negara di Asia Pasific
(Thailand, Korea Selatan, Timor Leste, China-Taiwan, China-Macau, Myanmar). Acara
berlangsung pada tanggal 26 Desember 2015-3 Januari 2016 di Omah Petroek,
Karangklethak, Yogyakarta.
Secara khusus, fasilitator juga
dibagi dalam kelompok untuk bersama-sama dengan peserta dari luar negeri untuk
melakukan Peregrinasi. Bagiku, ini
adalah peregrinasi kedua setelah peregrinasi pertama waktu masih mengalami
proses Formasi Ignasian di Komunitas Magis. Bedanya, saat ini aku harus
melakukan perjalanan/mendampingi dan menjadi leader untuk peregrinasi dengan teman-teman seperjalanan yang
berasal dari luar negeri. Kelompok peregrinasiku terdiri atas: aku, Arthur
(teman dari Komunitas Magis Jakarta), Gluey Koprakong (Thailand). Mi Jong Park
(Korea Selatan), ketika itu kami mendapatkan rute Peregrinasi ke Gua Maria Rosa
Mestika (Salatiga). Dari kelompokku ini, hanya aku yang pernah mengalami proses
peregrinasi, sehingga dari mereka nampak seperti mengandalkan aku.
Sebelum memulai perjalanan, tentu
terjadi pergumulan dengan diriku, juga pasti teman-temanku. Pergumulan yang
muncul dalam diriku pada waktu itu adalah bukan soal jauhnya rute, cuaca yang
mendung yang tidak support
perjalanan, dll. Ketakutanku pada saat itu adalah tidak bisa memberikan
berkomunikasi dengan lancar dengan bahasa inggris. Aku sangat takut, sekaligus
malu, siapatahu ketika mereka banyak bertanya dan meminta informasi, aku tidak
menjawabnya dan memberikan infomasi yang baik dan sesuai. Disitu, aku sudah
dianggap sebagai orang yang lebih tahu banyak. Tentu hal ini semakin membuatku
takut.
Peregrinasi kedua ini, membuatku
melihat ketempat yang lebih dalam, disini Tuhan ingin mengajarkan aku, bukan
untuk takut dengan perjalanannya yang jauh, justru aku tidak pernah mengeluhkan
jauhnya perjalanan itu, tetapi justru dikesempatan kedua Tuhan mau mendidik aku,
apakah aku benar-benar peregrinasi?
Melepaskan semuanya itu kedalam tangan Tuhan dan membiarkan Tuhan bekerja
didalamnya. Buat apa kamu ragu lagi ketika Tuhan memang sudah berjanji berjalan
bersamamu? Renungan ini muncul dalam benar aku.
Ternyata, apa yang aku takutkan
tidak menjadi kenyataan. Itu hanyalah gumulan perasaan yang sangat menguras
energi, karena aku selalu menahan untuk bicara karena takut salah, untuk
mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi kepada mereka. Dalam berjalan kaki
menuju tujuan, berkali-kali mereka bertanya pada aku, berkali-kali juga aku
tidak menjawab sesuai yang diminta oleh
mereka, teman Indonesia yang aku harapkan pun tidak bisa berbuat apa-apa pada
saat itu.
Sepanjang perjalanan, aku
mengolahnya, hal itu emang tidak enak, aku harus keluar dari diriku sendiri dan
melalukan sesuatu sesuai kehendak Tuhan. Sama sekali, perjalanan yang harus
ditempuh dengan jalan kaki dari Yogyakarta menuju Tuntang, Salatiga, yang kata
orang sangat jauh, justru tidak aku keluhkan. Setelah meneliti kedalam diriku,
yang membuatku gelisah adalah ketakutanku pada ketidakpercayaanku pada
kemampuanku.
Pengolahan yang ingin Tuhan berikan
kepadaku bukan lagi persoalan fisik atau materi, bukan soal apakah aku punya
nyali untuk berjalan kaki yang kurang lebih 60-70 km, bukan soal panasnya
matahari atau lebatnya hujan yang akan menemani perjalananku, bukan soal dimana
nanti aku akan menginap atau kepada siapa aku akan meminta makan dan apakah ada
orang yang mau memberikan kami makan. Bukan itu semua, tetapi, Tuhan ingin
membuatku menyerahkan seluruh keraguanku atas kemampuan yang sebenarnya Tuhan
telah berikan kepadaku, aku bisa melakukannya, hanya saja aku terlalu
menganggap diri rendah dan tidak bisa apa-apa.
Setelah dirunut kembali, mengapa
Tuhan tidak lagi menguji soal apakah aku mau berjalan kaki sejauh itu, tetapi
Tuhan mau meihat seberapa besar penyerahanku kepada-Nya dan keyakinanku kepada
kemampuan yang diberikan-Nya kepadaku.
Tuhan megajakku berefleksi soal hal itu. Setelah dicoba berkali-kali
berbicara dengan Mi Jong Park dan Gluey, aku semakin mampu memberanikan diri
melepaskan kekhawatiranku dan membisikkan hal ini kepada Tuhan: Tuhan, akan aku
coba untuk memberikan yang terbaik kepada-Mu. I’ll try my best. Hal itu menjadi
landasan yang membuka pikiran dan hatiku sepanjang perjalanan untuk kuat
melawan semua keraguan apakah aku bisa berkomunikasi dengan Bahasa Inggri
dengan baik atau tidak.
Tanpa diduga dan disangka, mereka
merasa terbantu selama perjalanan, karena komunikasiku yang baik didalam kelompok.
Yang notabene aku mengartikan, kemampuan bahasa inggrisku yang sebelumnya aku
ragukan ternyata tidak menjadi masalah. Aku belajar bagaimana aku menyerahkan
segala kekuatiran ini kepada Tuhan, aku belajar bagaimana aku melepaskan apa
yang aku punya, aku satukan dengan kehendak Tuhan, tidak kusimpan sendiri.
Aku ini hamba-Mu ya Tuhan, kemanapun
Engkau ingin membawaku pergi, aku akan ikut Engkau, sesulit apapun yang akan
aku hadapi, aku akan ikut pada jalan-Mu. Aku ini hamba-Mu yang berdosa, berilah
aku segenap kemampuan untuk bertolak ketempat yang dalam, lebih dalam
mengasihimu, lebih dalam mencintaimu.
Sesungguhnya didalam kehidupan ini
setiap dari kita memiliki sebuah kekuatiran, serahkan kekuatiran kita
kepada-Nya, biarlah Dia yang bertindak apapun dalam diri kita. Biarkan Dia
sendiri yang memberikan jalannya, sehingga sebagai manusia yang dicintai Tuhan,
kita patut mengatakan bahwa Tuhan, aku ini hamba-Mu, perbuatlah apapun untuk
diriku sesuai dengan kehendak-Mu, karena betapa setianya Engkau, menemani aku
sampai bebas dari keraguan-keraguan pada kemampuanku sendiri. Terimakasih Tuhan untuk kesadaran baru ini.
Claudia
Rosari Dewi
Alumni MAGIS Yogyakarta
Alumni Universitas Sanata Dharma, Fakultas Psikologi
Comments